“Perbaikilah usia yang masih tersisa maka Allah akan mengampuni kesalahan anda di masa lalu dan yang tersisa….”
Oleh : A. Muaz
Usia tidak bisa mendefinisikan kematangan dan kedewasaan seseorang. Kita bisa mengidentifikasi ihwal ini dari sikap dan caranya memperlakukan manusia lainnya. Dalam bahasa agama, mungkin itulah yang terkandung dalam adab dan akhlak.
Karena itulah, usia tidak bisa menjamin seseorang bisa menjaga lidahnya dengan apik. Usia tidak bisa menggaransi laku-lampah seseorang itu mahmudah (terpuji). Usia tidak dapat menggaransi hati yang jembar dan lapang menerima yang berbeda dan asing di dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagian kita –terutama yang sudah berumur dan “makan” bangku sekolah agama bertahun-tahun lamanya– malah cenderung sebaliknya. Semakin mencari pembenaran-pembenaran (justifikasi) agama atas tindak tanduknya yang selama ini tidak arif dan matang. Ia serupa pohon yang tidak berbuah. Hanya tumbuh dengan batang, dedaun, dan dahah-dahan. Tentu, kita semua tidak ingin menua seperi pohon yang tak berbuah hingga ajal menjemput bukan?
Syahdan, dalam kitab Hilyatul Aulia, Imam Fudhail bin Iyadh pernah bertanya kepada seseorang: “Berapa usia Anda?”
“Enam puluh tahun,” jawabnya, yakin.
“Kalau begitu, sejak enam puluh tahun anda sedang berjalan menuju Rabb anda dan mungkin hampir sampai,” komentar Imam Fudhail.
Orang itu terkesiap dan tersentak. Ia langsung mengucap: “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un!”
Imam Fudhail bertanya lagi:
“Tahukah kau makna ucapan ‘inna lillahi wa inna ilaihi raji’un’ itu? Katakanlah: saya adalah hamba Allah dan saya akan kembali kepada-Nya. Barangsiapa memahami bahwa semua manusia adalah hamba Allah dan kepada-Nya akan kembali, maka hendaklah ia menyadari bahwa ia tengah tertahan. Dan barangsiapa menyadari bahwa ia tertahan, hendaknya ia menyadari bahwa ia akan dimintai pertanggungjawaban. Jika ia menyadari akan dimintai tanggungjawab, hendaklah ia mempersiapkan jawaban atas semua pertanyaan.”
Kemudian, orang itu bertanya, “Terus, bagaimana caranya?”
“Mudah,” jawab sang Imam.
“Bagaimana?” tanya orang tersebut, tambah penasaran.
Imam Fudhail pun menjawab: “Perbaikilah usia yang masih tersisa maka Allah akan mengampuni kesalahan anda di masa lalu dan yang tersisa. Tetapi jika anda tetap melakukan keburukan dalam usia yang tersisa maka berarti anda mencabut kebaikan masa lalu dan juga kebaikan di usia yang masih tersisa.”
Demikianlah nasehat Imam Fudhail soal usia yang tersisa. Bayangkan, bila di usia kepala 4, atau kepala 5, atau kepala 6, ternyata kita masih berada dalam situasi yang tidak menyadari kesalahan dan khilaf dan ketidakmatangan dalam berelasi dengan manusia lainnya, maka kebaikan yang pernah kita perbuat di masa muda akan tercabut.
Saya jadi teringat firman Allah dalam QS. Fathir, ayat 37 : “Dan mereka berteriak di dalamnya: “Tuhan Pemelihara kami, keluarkanlah kami (dari azab ini), niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh, berbeda dengan yang telah kami kerjakan.” Dan (dikatakan kepada mereka): “Apakah Kami tidak memanjangkan umur kamu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir dan (bukankah) telah datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami)! Maka tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.”
Sebagian besar mufasir berpendapat bahwa firman Allah tersebut ditujukan untuk mereka yang sudah memasuki usia 40-an ke atas, tetapi masih saja melakukan perbuatan-perbuatan durhaka. Tuhan mengecam dan mengancam mereka bila itu terjadi (dan bukankah memang terjadi dan kerap kita jumpai) dalam kehidupan sehari-hari. Na’udzubillah. Semoga kita semua tidak termasuk di dalamnya. (Foto: pixabay.com)

RELATED ARTICLES
Must Read
Kiai Sodikun: Penyalahgunaan Narkoba Jadi Pemicu Kehancuran Umat
JAKARTA— Ketua Pengarah Gerakan Nasional Anti Narkoba (Ganas Annar) Majelis Ulama Indonesia (MUI) , KH Sodikun menyampaikan bahwa salah satu hancurnya umat itu karena...